Lobi-lobi

Tyas Hanina
5 min readJun 29, 2023

--

“Tante, kamu nama panjangnya siapa?”

Aku tergelak mendengar pertanyaan itu datang dari keponakanku sendiri.

“Tyas Hanina.”

“Wow.”

Kami baru bertemu setelah hampir setengah tahun. Sesekali ia suka menghubungi di WhatsApp, memberi tahu kabar kucingnya, mengingatkanku makan siang, memujiku cantik, melontarkan pertanyaan tidak terduga, serta (yang terbaru) membahas K-Pop. Tetapi, memang, dia tidak pernah bertanya apa nama panjangku sih.

Dia bertumbuh begitu cepat. Rambutnya sudah lebih panjang dariku, tutur katanya sudah lebih teratur, dan dia sudah mempelajari berbagai macam emosi dan perasaan. Kagum, marah, penasaran, malu, ragu, sedih, kesal, bangga, capek, serta senang.

Kakakku bilang dia sangat mengagumiku. Dia menungguku pulang ke rumah (maaf, tante di kosan. Gak bisa pulang sekarang?), memuji penampilanku yang sedang bare face & dasteran (wow cantiknya), tidak berhenti menyebutku pandai melukis (kamu kok bisa gambarnya bagus banget sih?), dan sebagainya.

Hari ini, kami menggambar bersama di kamar tidurku, menyisakan ubin hijau yang tercoreng berbagai warna cat. Dia menggambar apa saja yang dia mau, seperti biasa. Aku membiarkannya, seperti biasa.

Adiknya terus bertanya apa yang dia gambar.

“Kamu gambar apa?”

“Ini buah ceri.”

“Aku kira lato-lato!”

Dia mengambil krayon lain dan mulai menggambar segitiga.

“Kamu gambar apa?”

“Ini mata.”

Kebetulan aku juga sedang menggambar mata di sebelahnya. Menyaksikan itu, dia langsung mencoret gambarnya menggunakan krayon hitam. Aku kaget sekali.

“Eh, kenapa dicoret?”

“Kok gambarku jelek?”

“Gak lho. Itu kan belum selesai, masih bisa kamu lanjutin.”

“Tapi, jelek?”

“Gak ada gambar yang jelek dan perlu dicoret kok. Yang penting kan belajar. Nih, kamu bisa gambar mata di tempat yang lain.”

Dia mengangguk dan memilih melanjutkan gambar mata yang kubuat. Belum lama, dia sudah merasa bosan dan mulai membuka laci.

“Tante kok bisa buat mata, telur ceplok, dan alpukat?”

Katanya sambil memboyong beberapa tray yang kubuat dari air dry clay. Kayanya, dia mengira aku bisa bikin semua hal.

Perhatiannya teralih kembali dengan lukisan sapi yang kupajang di meja belajar.

“Kok kamu bisa gambar sapi?”

“Bisa dong”

“Itu sapi kenapa terbang?”

“Sapinya diculik alien. Kamu tau alien gak?”

“Tau dong. Alien ada yg cewek gak?”

“Ada.”

“Kalo kucing? Juga bisa diculik alien?

“Gak dong. Alien takut sama kucing.”

“Kenapa takut?”

“Kucing galak.”

“Iya sih. Aku aja dicakar.”

“Aliennya juga dicakar sama kucing.”

“Oh, alien juga? Kasian..”

Aku menikmati percakapan tentang sapi diculik alien di Hari Idul Adha ini. Bersyukur, karena tidak harus menyaksikan proses penjagalan bersama kedua ponakan. Aku tidak suka darah dan perasaan aneh yang ditinggalkan.

“Ih, liat kaya darah.”

Kata ponakanku menunjukkan noda cat merah di lengannya.

Dia tau apa itu darah.

Lalu, aku teringat dengan episode “Arkangel” di Black Mirror. Terutama ketika scene orang tua memegang kendali akan hal-hal yang bisa diterima oleh pandangan serta pendengaran anaknya. Darah, anjing, seks, serta kalimat kasar dan umpatan. Semuanya disensor begitu saja.

Fucked up parenting banget, pikirku dalam hati. Tapi, aku juga gak tau sih lebih baik membatasi anak-anak demi keselamatannya, atau membiarkannya demi kebebasannya. Aku belum pernah jadi orang tua.

Menggunakan cat merah yang tersisa, ponakanku menggambar banyak hati. Banyak sekali. Sampai aku mulai ikut-ikutan.

“Tante, gambar hati yang kepisah.”

“Hah?”

“Iya, hatinya patah.”

“Kenapa hatinya harus patah dan misah?”

“Soalnya udah gak cinta.”

Oh, hatinya juga? Kasian..

Selain menghabiskan waktu bersama ponakan, sisa hariku hanya dihabiskan dengan rebahan. Jadwal yang padat membuatku belum benar-benar beristirahat. Aku bahkan kelewatan jadwal salat eid karena tidur begitu lelap, ditambah orang rumahku tidak ada yang membangunkanku sama sekali.

Bangun dari tidur sore, rumah sudah dalam keadaan sepi. Semua orang pergi dan (lagi-lagi) membebaskanku di alam mimpi.

Aku meraih majalah Bobo Edisi 50 Tahun yang sudah ingin kubaca dari kemarin. Aku menunggu momen yang tepat untuk membukanya.

Baru sampai halaman ke-4, aku sudah merasa emosional sekali. Ya ampun, majalah ini sudah berusia lebih tua 2x lipat dariku.. Perasaan haru merangsek masuk. Aku tahu betapa kerasnya pihak redaksi bekerja selama ini.

Menulis ceritera, menggambar ilustrasi, menyusun tema edukasi, sambil mengurus surat-surat pembaca. Penuh proses serius yang kreatif dan proses kreatif yang serius.

“Masa anak-anak adalah masa yang istimewa. Masa di saat semua yang kita lihat tampak indah, saat imajinasi seakan menjadi nyata, dan saat hal nyata bisa diimajinasikan menjadi apa pun. Itulah keistimewaan masa anak-anak.” — (Majalah Bobo, halaman 4)

Kubayangkan, pihak redaksi berkali-kali mengecek bagaimana kalimat pembuka itu meninggalkan kesan untuk pembaca. Yang jelas, aku merasa hangat. Seperti ada api kecil yang kembali menyala di dalam diriku.

Melempar diriku ke masa lalu. Setiap Kamis tiba, aku menunggu bapakku pulang kerja. Aku selalu duduk manis di polisi tidur dekat rumah. Sekitar pukul lima, aku akan melihat ayahku muncul dari balik gapura. Dalam genggaman tangannya, ia membawa berbagai macam majalah (tapi, Bobo tetap yang paling ku suka!).

Waktu kecil, kalau ditanya apa alasannya, aku mungkin akan ngasal menjawab.

“Soalnya, Bobo nyambung sama namaku. Ha-Nina Bobo.”

Kalau sekarang ditanya begitu, aku juga akan tetap ngasal jawabnya sih. Cuma aku lebih paham alasannya.

Bobo memegang bagian yang sangat besar untuk membentuk diriku yang sekarang. Hobi membacaku sedari kecil (makin berkurang intensitasnya), cita-citaku bekerja di majalah (tidak pernah kesampean), memakai embel-embel “Bobo” di blog pertamaku (haninabobo), hingga menjadikan tagline-nya sebagai bio profil Medium-ku (Teman bermain dan belajar).

Selain kisah seru Bobo dan keluarganya, juga ada cergam-cergam lainnya. Seperti Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang! 🐘

Sampai usia golden age seperti sekarang, cukup banyak perubahan yang terjadi pada karakter-karakter cerita di majalah ini. Salah satunya, yang sangat membekas buatku adalah pergantian formasi pada cergam Bona. Sang Gajah mengalami perubahan fisik dan pergantian teman perjalanan.

Siapa sangka Gajah imut ini hadir dari luar angkasa? Berganti warna dari pink ke ungu (sama-sama lucu), mengenakan topi (semakin lucu), dan berpisah dengan Rong Rong si kucing lucu (fakta ini sedih dan tidak lucu).

50 tahun memang bukan waktu yang sebentar. Begitu banyak hal yang terjadi. Perubahan ilustrasi Bobo, alur cerita Bona, industri media secara keseluruhan di Indonesia, hingga proses hidup para pembaca (aku salah satunya).

Dalam imajinasiku, Bobo adalah sosok kelinci pintar. Dia bukan overachiever, tapi selalu jadi orang yang bisa diandalkan untuk keluarga, teman, dan pasangan. Mungkin Bobo akan sering ditunjuk jadi ketua kelas, ikut pemilihan ketua OSIS, dan (kalau berambisi) ikutan BEM dan demo sana-sini.

Atau, Bobo bisa jadi tidak memenuhi satu pun ekspektasi tersebut. Dia bisa jadi lelah karena selalu jadi penengah di keluarganya (Bo, cobalah itu bantu adikmu Coreng, Upik, dan Cimut?). Memutuskan untuk kuliah di luar kota (kadang, kita memang butuh jarak dengan orang-orang yang kita cinta), mengambil beasiswa (tidak mau menyusahkan siapa-siapa), dan sibuk menekuni hobinya. Bobo masih suka sepak bola gak ya? Mungkin sekarang setidaknya tetap rutin main futsal sama teman-temannya.

Dear, Bobo.. Kamu boleh bertumbuh jadi sosok apa pun. Yang penting kamu sehat dan bahagia, ya?

Bobo. 10 tahun. Hobi bermain bola.

Coreng. 8 tahun. Hobi melukis.

Upik. 5 tahun. Hobi bermain boneka.

Cimut. 2 tahun. Hobi makan permen.

Keponakanku menyela.

“Tante, gak ada yang hobi main hape?”

“Gak ada. Itu mah kamu.”

Dia tertawa geli sendiri.

Lobi-lobi. 7 tahun. Hobi makan lobi-lobi.

“Kamu tau lobi-lobi?”

“Gak tau.”

“Sama dong.”

Tyas. 25 tahun. Kebanyakan hobi.

--

--